Masyarakat Islam Indonesia, khusunya kalangan pesantren sudah tidak
asing lagi dengan sebutan habib atau habaib kepada keturunan Arab yang
masih memiliki talian darah dengan Rasulullah. Sebutan habib merupakan
sebuah gelar yang disematkan para
pecinta sebagai salah satu bentuk
penghormatan kepada Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam. Di beberapa
negara, sebutan untuk dzurriyat rasul ini berbeda-beda. Di Maroko dan
sekitarnya mereka lebih dikenal dengan sebutan syarif, di daerah Hijaz
mereka lebih di kenal dengan sebutan sayyid, sedangkan di nusantara ini
umumnya mereka dikenal dengan sebutan habib.
Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H mulai membanjirnya hijrah kaum
alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan
dunia hingga sampailah ke nusantara ini. Di antara mereka ada yang
mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat
disaksikan hingga kini, di antaranya Kerajaan Al-Aydrus di Surrat
(India), Kesultanan Al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-bin
Syahab di Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama alawiyin
pada masa itu adalah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Shahibul
Ratib). Sejarawan Hadramaut, Asy-Syeikh Muhammad Bamuthrif mengatakan
bahwa alawiyin atau qabilah3 ba'alawi dianggap qabilah yang terbesar
jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
Kata alawiyin memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah
keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib, sedangkan pengertian kedua
menunjukkan keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al-'Uraidhi bin Jakfar Ash-Shadiq. Istillah
alawiyin atau ba'alawi juga digunakan untuk membedakan keluarga ini dari
keluarga para sayyid lainnya yang sama-sama keturunan Rasulullah
salallahu 'alaihi wasalam.
Kemudian dalam perkembangannya sebutan
'alawi dinisbatkan kepada Al-Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir . Alwi adalah cucu pertama Al-Imam Ahmad Muhajir bin Isa
yang lahir di Hadramaut dan pada masa itu beliaulah orang pertama yang
diberi nama Alwi. Beliau wafat setelah abad ke-4 hijriah. Kepadanya
kembali semua keturunan ba'alawi yang berasal dari Hadramaut .
Dalam buku “Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof.Dr.Hamka
menyebutkan bahwa gelar syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina
Hasan dan Husein apabila menjadi raja. Banyak dari para sultan di
Indonesia adalah keturunan Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam.
Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari syarif. Sultan Siak
terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid
Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri Kota
Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari
Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam
sebuah hadis, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam bersabda yang
artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli
surga” (seraya menunjuk kedua cucu beliau, Sayyidina Hasan dan Husein).
Berlandaskan hadis tersebut, sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa
setiap keturunan Sayyidina Hasan dan Husein digelari sayyid. Dipandang
sangat tidak hormat kepada Rasulullah jika ada yang mengatakan bahwa
Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak memiliki keturunan dan
mengatakan bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang
berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang
yang iri dan dengki.
Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang
mencatat nasab para alawiyin. Sehingga benar-benar gelar habib atau
sayyid tidak disalahgunakan oleh seseorang. Lembaga tersebut lebih
dikenal dengan nama Rabithah Alawiyah yang berpusat di Jakarta.
Buku
ini merupakan kumpulan buku biografi singkat para auliya’ yang telah
memperkenalkan, memperjuangkan serta memiliki kontribusi besar dalam
dakwah Islam di nusantara ini. Seorang Orientalis Barat Snouck
Hurgronje, menuliskan bahwa, “Banyak para ulama dari kaum alawiyin asal
Hadramaut yang sangat berpengaruh dan menjadi pusat rujukan kaum
muslimin di Indonesia. Mereka memiliki jasa besar dalam menorehkan jejak
dakwah di seluruh pelosok negeri ini.”
“Para Sayyid asal
Hadramaut memiliki peranan yang sangat besar dalam dakwah islamiyah di
Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Semua ahli sejarah telah
menyebutkan betapa besarnya usaha dan peranan mereka. Hijrahnya mereka
dari Hadramaut ke tempat yang jaraknya ribuan mil dengan menyeberangi
lautan, tidaklah bertujuan kecuali untuk menyebarkan Islam. Dan mereka
tidak sedikitpun mencari keuntungan materiil maupun moril”. Itulah yang
dikatakan sejarawan Prancis Gustave Le Bon tentang peranan para habaib
dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Mereka berdakwah sesuai dengan
caranya masing-masing. Meskipun cara dakwah mereka berbeda, namun
mereka tetap berpegang teguh dalam satu ikatan akidah, yaitu ahlussunnah
wal jama'ah. Mereka mewarisi sifat datuk mereka, Al-Imam Ali Zainal
'Abidin yang perilakunya agung dan sangat mulia. Al-Imam Al-Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian
syairnya: “Mereka tetap dalam jejak Nabi (Muhammad) dan para sahabatnya,
serta generasi sesudahnya. Maka tanyakan kepadanya dan ikuti jejak
mereka. Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian. Setapak
demi setapak mereka telusuri dengan kegigihan dan kesungguhan”
Penulis
mengkhususkan penulisan buku ini hanya pada 17 profil ulama bukan
berarti mereka utama dari ulama yang lain, namun menimbang terbatasnya
data yang ada maka diputuskan untuk mengangkat 17 ulama yaitu: Al-Habib
Husein bin Abubakar Al-Aydrus Keramat Luar Batang, Jakarta, Al-Habib
Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan, Al-Habib Abdullah bin
Muhsin Al-Attas Keramat Empang, Bogor, Al-Habib Muhammad bin Idrus
Al-Habsyi Surabaya, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor Bondowoso,
Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, Al-Habib Ali bin
Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Jakarta, Al-Habib Alwi bin Muhammad bin
Thohir Al-Haddad Bogor, Al-Habib Husein bin Muhammad bin Thohir
Al-Haddad
Jombang, Al-Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf Pasuruan,
Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas Jakarta, Al-Habib Idrus bin Salim
Al-Jufri Palu, Sulawesi Tengah, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih
Darul Hadis, Malang, Al-Habib Muhammad bin Husein Al-Aydrus Surabaya,
Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Jakarta, Al-Habib Sholeh bin Muhsin
Al-Hamid Tanggul, Jember, dan Prof. DR. As-Sayyid Muhammad bin Alawi
Al-Maliki Al-Hasani Makkah, Saudi Arabia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar