12 Apr 2014

Tasmania Baru Akan Menerapkan Pendidikan 12 Tahun | Pendidikan Dasar

0 komentar
»»  READMORE...

15 Nov 2013

Islam dan Lingkungan Hidup

0 komentar
   Judul            : Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam
   Penulis          : Ibrahim Abdul-Matin
    Penerjemah   : Aisyah
    Penerbit        : Zaman, Jakarta
    Cetakan        : I, 2012
    Tebal            : 318 Halaman
    ISBN            : 978-979-024-319-4
Banyaknya bencana yang terjadi dibelahan dunia membuat semua orang prihatin. Mulai dari krisis air sampai pada pemanasan global. Semua itu cukup untuk membuktikan bahwa alam sedang mengalami kerusakan. Penyebabnya adalah tindakan manusia yang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Padahal, Islam menegaskan bahwa semua manusia adalah penjaga bumi. Islam memberikan banyak inspirasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sejak 14 abad yang lalu, Islam sudah mengajarkan umat untuk peduli kepada alam. Karena Islam tidak hanya menaruh perhatian pada persoalan spiritual dan sosial, melainkan juga menginspirasi umat untuk peduli kepada alam.


Buku bertajuk Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam ini menjawab kegelisahan tersebut. Dengan menyuguhkan masalah dan solusi terkait isu-isu lingkungan yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Yakni berupa prinsip yang didasarkan atas kesadaran menjalankan Islam seraya berkomitmen kepada lingkungan.

Buku setebal 318 halaman ini menyuguhkan kisah-kisah inspiratif, perjalanan hidup penulisnya, ajakan gaya hidup Islami dan pemikiran terkait kepeduliaan terhadap alam. Bahwa prinsip-prinsip pelestarian lingkungan itu ada dalam Islam. Oleh sebab itu, Ibrahim Abdul-Matin menawarkan konsep ‘Agama Hijau’ (greendeen) sebagai inspirasi mengelola alam.

Pria muslim berkulit hitam itu menguraikan kandungan ini sebanyak enam belas bab. Kemudian dikelompokkan dalam empat tema besar. Empat isu penting terkait lingkungan itu adalah energi, air, limbah dan makanan.

Penjelasan mengenai ‘Agama Hijau’ (greendeen) terdapat dalam halaman 21 – 34 bagian awal buku ini. ‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta).

Di dalamnya dijelaskan bahwa ‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan. Prinsip pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Hidup dengan cara ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.

Prinsip kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di seluruh semesta. Hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti melihat segala sesuatu di alam ini sebagai tanda (ayat) keagungan Sang Pencipta. Prinsip ketiga, menjadi penjaga (khalifah) bumi. Dengan prinsip ini berarti memahami bahwa manusia harus melakukan apa pun untuk menjaga, melindungi, dan mengelola semua karunia yang terkandung di dalam alam.

Prinsip keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pelindung planet ini. Mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti mengetahui bahwa manusia dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai pelindung alam. Prinsip kelima, memperjuangkan keadilan (‘adl). Orang yang ingin hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) harus memahami bahwa masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi sering kali harus menanggung efek negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Prinsip keenam, dan hidup selaras dengan alam (mizan). Segala sesuatu diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna (mizan). Upaya menghormati keseimbangan itu dapat berupa memandang bumi sebagai masjid. Tatanan hukum dan aturan dalam Islam bertujuan untuk menjaga keseimbangan ini. Prinsip-prinsip itu adalah panduan yang menuntun untuk melestarikan lingkungan (alam) berdasarkan inspirasi ‘Agama Hijau’ (greendeen).

Dengan prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa Islam mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa Islam bersesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Enam prinsip itu juga dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan asas agama Islam.

Dengan perspektif ‘Agama Hijau’ (greendeen) manusia akan memiliki kesadaran dan berpandangan bahwa bumi adalah masjid. Bumi adalah masjid merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa manusia merupakan bagian dari struktur penciptaan yang menakjubkan. Maka, semua yang ada di dalamnya suci. (hal. 19). Hal ini berdasarkan Hadis Nabi saw. yang berbunyi, “Di mana pun kamu berada saat waktu shalat tiba, kerjakanlah shalat. Sebab, bumi ini adalah masjid.”

Begitu juga dalam memandang dan memanfaatkan sumber daya air. Air adalah medium pemahaman, keimanan, dan kebijaksanaan. Air sekaligus menjadi sarana penting untuk mengamalkan Islam. Air memiliki peran yang sangat fundamental dalam Islam. Salah satu syarat sah shalat adalah kesucian fisik dengan air. (hal. 178).

Dengan hal itu, Ibrahim menekankan bahwa pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan air. Di antara langkah penting untuk mengelola air dengan baik adalah memperbiki jalur distribusi air sehingga benar-benar terjamin kebersihannya. Karena akses terhadap air merupakan kunci kebahagiaan bagi setiap orang. (hal. 185).

Ibrahim mengemukakan beberapa contoh personal maupun komunitas dalam menerapkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Misalnya, dia mengemukakan bahwa ada sebuah kmunitas muslim yang hidup sepenuhnya tanpa jaringan listrik di Chiapas, Meksiko. Pengalaman menuntun mereka memegang prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) dengan cara mengekspresikan keimanan yang bersesuaian dengan cintanya kepada planet ini dan kepada Tuhan. (hal. 171).

Buku yang diterbitkan dan diterjemahkan oleh Penerbit Zaman ini menggambarkan pengalaman hidup Ibrahim dan muslim Amerika dalam mengamalkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Selain untuk warga Amerika, buku ini juga dapat memberikan inspirasi dan membuka horizon dalam mengelola alam di negara-negara berkembang dan atau mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia.

Karena di dalamnya tidak hanya menawarkan solusi dan alternatif dalam menjaga dan pengelolaan lingkungan. Buku ini juga menyadarkan kita dari budaya konsumerisme. Uraiannya juga membuktikan bahwa Islam memiliki keberpihakan dalam mengupayakan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Hal ini jelas tertera dalam al-Qur’an dan Hadis.
»»  READMORE...

17 Habaib Berpengaruh di Indonesia

0 komentar
Masyarakat Islam Indonesia, khusunya kalangan pesantren sudah tidak asing lagi dengan sebutan habib atau habaib kepada keturunan Arab yang masih memiliki talian darah dengan Rasulullah. Sebutan habib merupakan sebuah gelar yang disematkan para
pecinta sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam. Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul ini berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya mereka lebih dikenal dengan sebutan syarif, di daerah Hijaz mereka lebih di kenal dengan sebutan sayyid, sedangkan di nusantara ini umumnya mereka dikenal dengan sebutan habib.



Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H mulai membanjirnya hijrah kaum alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan dunia hingga sampailah ke nusantara ini. Di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya Kerajaan Al-Aydrus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-bin Syahab di Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama alawiyin pada masa itu adalah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Shahibul Ratib). Sejarawan Hadramaut, Asy-Syeikh Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa alawiyin atau qabilah3 ba'alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
Kata alawiyin memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib, sedangkan pengertian kedua menunjukkan keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-'Uraidhi bin Jakfar Ash-Shadiq. Istillah alawiyin atau ba'alawi juga digunakan untuk membedakan keluarga ini dari keluarga para sayyid lainnya yang sama-sama keturunan Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam.
Kemudian dalam perkembangannya sebutan 'alawi dinisbatkan kepada Al-Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir . Alwi adalah cucu pertama Al-Imam Ahmad Muhajir bin Isa yang lahir di Hadramaut dan pada masa itu beliaulah orang pertama yang diberi nama Alwi. Beliau wafat setelah abad ke-4 hijriah. Kepadanya kembali semua keturunan ba'alawi yang berasal dari Hadramaut .
Dalam buku “Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof.Dr.Hamka menyebutkan bahwa gelar syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina Hasan dan Husein apabila menjadi raja. Banyak dari para sultan di Indonesia adalah keturunan Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam. Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri Kota Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam sebuah hadis, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam bersabda yang artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga” (seraya menunjuk kedua cucu beliau, Sayyidina Hasan dan Husein). Berlandaskan hadis tersebut, sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan dan Husein digelari sayyid. Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak memiliki keturunan dan mengatakan bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang iri dan dengki.
Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang mencatat nasab para alawiyin. Sehingga benar-benar gelar habib atau sayyid tidak disalahgunakan oleh seseorang. Lembaga tersebut lebih dikenal dengan nama Rabithah Alawiyah yang berpusat di Jakarta.
Buku ini merupakan kumpulan buku biografi singkat para auliya’ yang telah memperkenalkan, memperjuangkan serta memiliki kontribusi besar dalam dakwah Islam di nusantara ini. Seorang Orientalis Barat Snouck Hurgronje, menuliskan bahwa, “Banyak para ulama dari kaum alawiyin asal Hadramaut yang sangat berpengaruh dan menjadi pusat rujukan kaum muslimin di Indonesia. Mereka memiliki jasa besar dalam menorehkan jejak dakwah di seluruh pelosok negeri ini.”

“Para Sayyid asal Hadramaut memiliki peranan yang sangat besar dalam dakwah islamiyah di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Semua ahli sejarah telah menyebutkan betapa besarnya usaha dan peranan mereka. Hijrahnya mereka dari Hadramaut ke tempat yang jaraknya ribuan mil dengan menyeberangi lautan, tidaklah bertujuan kecuali untuk menyebarkan Islam. Dan mereka tidak sedikitpun mencari keuntungan materiil maupun moril”. Itulah yang dikatakan sejarawan Prancis Gustave Le Bon tentang peranan para habaib dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Mereka berdakwah sesuai dengan caranya masing-masing. Meskipun cara dakwah mereka berbeda, namun mereka tetap berpegang teguh dalam satu ikatan akidah, yaitu ahlussunnah wal jama'ah. Mereka mewarisi sifat datuk mereka, Al-Imam Ali Zainal 'Abidin yang perilakunya agung dan sangat mulia. Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya: “Mereka tetap dalam jejak Nabi (Muhammad) dan para sahabatnya, serta generasi sesudahnya. Maka tanyakan kepadanya dan ikuti jejak mereka. Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian. Setapak demi setapak mereka telusuri dengan kegigihan dan kesungguhan”

Penulis mengkhususkan penulisan buku ini hanya pada 17 profil ulama bukan berarti mereka utama dari ulama yang lain, namun menimbang terbatasnya data yang ada maka diputuskan untuk mengangkat 17 ulama yaitu: Al-Habib Husein bin Abubakar Al-Aydrus Keramat Luar Batang, Jakarta, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan, Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Keramat Empang, Bogor, Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi Surabaya, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor Bondowoso, Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Jakarta, Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad Bogor, Al-Habib Husein bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad
Jombang, Al-Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf Pasuruan, Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas Jakarta, Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri Palu, Sulawesi Tengah, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Darul Hadis, Malang, Al-Habib Muhammad bin Husein Al-Aydrus Surabaya, Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Jakarta, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul, Jember, dan Prof. DR. As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Makkah, Saudi Arabia.
»»  READMORE...

Dakwah Pemuda Bersama Nurul Musthofa

0 komentar
Nurul Musthofa merupakan majelis yang sangat fenomenal di Kota Jakarta. Dalam waktu singkat majelis yang semula hanya memiliki beberapa puluh jama’ah itu, kini mencapai hampir lima puluh ribu orang yang hadir setiap minggunya. Dan mencapai tiga ratus ribu orang pada even-even tertentu. Keberkahan para wali diyakini oleh pengasuhnya ad-Da’i ilallah al-Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, sebagai motivator dan penggerak langkah kaki ribuan para pemuda itu sehingga mau menuju ke majelis shalawat dan dzikir, mengaji bersama, di saat para pemuda lainnya terpedaya oleh gemerlap hiburan malam di Kota Jakarta.


Syababul Yaum Rijalul Ghad begitu kata pepatah. Setiap pemuda adalah calon manusia yang akan menuliskan sejarah pada lembaran-lembaran kehidupannya. Masa muda merupakan masa pencarian jati diri. Kehidupan diwarnai kemauan dan hasrat yang menggebu, pribadi dan perangai mulai tercetak dan menentukan bagaimana kehidupannya kelak. Islam mengajarkan, bahwa masa muda merupakan saat yang tepat bagi seorang hamba untuk menjadikannya sebagai sarana agar lebih dekat dengan Allah swt. Kekuatan fisik dan kemauan yang kuat dapat memaksimalkan dirinya untuk senantiasa menggapai keridhaan Allah swt semata. Pemuda yang bertakwa dibanggakan oleh Allah kepada seluruh makhluknya. Bahkan kisahnya diabadikan dalam
Qur’anul karim.
Sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi ayat: 13.)
Di tengah kondisi Jakarta saat ini yang diibaratkan oleh Kyai Abdul Hayyie sebagai hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas, Majelis Nurul Musthofa menjadi harapan bagi umat. Majelis ini menjadi benteng dari infiltrasi budaya asing yang secara cepat maupun lambat dapat dengan mudah menghancurkan generasi muda. Kita memohon kepada Allah swt agar selalu memelihara, memberikan petunjuk serta memberikan pertolongan kepada kita semua. Tiada kekuatan untuk berbuat taat dan meninggalkan maksiat melainkan dengan pertolongan dan taufik dari Allah swt.
»»  READMORE...

Akhir Kekuasaan Klan Taira

0 komentar
Judul            : Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira
Penulis          : Eiji Yoshikawa
Penerbit        : Kansha Books, Jakarta
Cetakan        : I, Januari 2013
Tebal            : 394 halaman
ISBN            : 978-602-97196-7-3
Kekalahan Klan Minamoto oleh Klan Taira pada perang Heiji masih menyisakan luka yang sangat mendalam. Namun, kondisi negeri saat ini sangat terpuruk akibat keserakahan klan Taira. Tidak sedikit rakyat yang geram atas kepemimpinan klan Taira. Kondisi itu menguntungkan Yoritomo yang ingin melakukan balas dendam dengan menjatuhkan Taira no Kiyomori. Buku kedua dari dwilogi Minamoto no Yoritomo merangkai perjalanan sejarah yang tidak akan dilupakan oleh klan Minamoto. Tibalah waktunya bagi Klan Minamoto untuk melakukan balas dendam atas klan Taira yang sudah meruntuhkan puing-puing klan Minamoto. Kemewahan dan keserakahan akan menghancurkan segala hal yang sudah dicapai. Sejarah mencatat, tidak sedikit kerajaan yang terpecah-belah, bahkan mengalami kehancuran, disebabkan oleh penguasa yang serakah. Inilah kisah detik-detik kehancuran dinasti Taira yang sedang berada di atas awan. Bagaimana tidak, jika digambarkan ada 100 orang, yang sangat takut kepada Nyuudou Kiyomori adalah 100 orang. Sedangkan orang yang membenci Nyuudou mencapai 90 orang atau lebih dalam 100 orang. Hanya sebagian kecil yang tak membenci Nyuudou karena sudah mengenal kepribadiannya. mereka menginginkan Nyuudou tetap menjabat dan memerintah secara riang. (Halaman 23). Salah satu kharisma dari Yoritomo adalah ketika dia dan pasukannya mengalami kekalahan saat perang di gunung Ishibashi. Tentara yang tidak seimbang menjadi penyebab utama kekalahan bagi pasukan Yoritomo. Yakni klan Minamoto hanya berjumlah 300 orang, sedangkan pihak Taira lebih dari 3.000. Walaupun mengalami kekalahan dari klan Taira, Yoritomo dengan gaya kepemimpinannya yang kharismatik membuat semua prajurit tetap dalam api yang berkobar. Yoritomo terlahir sebagai rakyat jelata, tanpa harta tanpa dara penguasa, dan seroang anak yang diasingkan ke Izu. Dia malah dapat memahami buruknya keadaan dan dapat melihat harapan tersebut. Dia sungguh-sungguh berimpati atas semgant revolusi mereka daripada seorang pribadi. (halaman 97). Dengan itulah banyak yang ikut berpartisipasi dan bergabung dengannya untuk menggulingkan klan Taira. Sebagai seorang pemimpin, Yoritomo sangat memiliki karakter yang tegas dan teguh pendirian serta disiplin. Bahkan, ketika bala bantuan sebanyak 20.000 pasukan datang terlambat, dengan tegas dia mengatakan, “Pasaukan 20.000 orang, bahkan seratus ribu orang pun tak ada gunanya jika terlambat. Keterlambatan adalah larangan pertama bagi kaum ksatria…” (halaman 145). Namun kharisma itu tidak memudar dari sosok Yoritomo. Pasukan itu tetap setia menunggu sampai kemarahannya reda. Bahkan, kabar ada bala bantuan ini sampai ke telinga Nyuudou Kiyomori. Setiap kali informasi baru, jumlah pasukan Yoritomo terus bertambah. Harapan Yoritomo untuk dapat menggulingkan klan Taira bertambah besar setelah dirinya bertemu dengan adiknya setelah 20 tahun berpisah. Minamoto no Kurou Yushitsune dialah anak bungsu dari mendiang Yoshitomo yang terpisah dengan saudaranya saat kerusuhan Heiji. Kegagahan yang sudah dicapai tidak terlepas dari peran adiknya, Kurou Yoshitsune. Merasa siap, Yoritomo menunjuk adiknya, Yushitsune, untuk memimpin peneyerbuan ke ibukota. Keberhasilan Yoshitsune menguasai ibukota membuat prajurit dan mantan Kaisar semakin mencintainya. Hal tersebut membuat Yoritomo ingin menyingkirkan sang adik. Di sisi lain, klan Taira siap merebut kembali Ibukota, dan hanya Yoshitsune yang menjadi harapan klan Minamoto. Eiji Yoshikawa memang piawai dalam menghasilkan karya dengan genre fiksi sejarah. Buku kedua ini mengajak kita untuk menyelami jiwa pemimpin pada diri Yoritomo yang berapi-api dalam membela kedaulatan rakyatnya. Di samping menyelami jiwa samurai dalam diri Yoshitsune, yang pandai dalam membuat strategi perang. Jerih payah selama ini menghasilkan wilayah timur sampai Hitachi dan Shinano tunduk kepada Yoritomo. Tapi Fujiwara no Hidehiradi Oushu belum menyatakan akan memihak klan Minamoto. Apalagi wilayah Barat dari Sagami, seluruhnya masih di bawah kekuasaan klan Taira. (halaman 214). Buku ini menjawab rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat membaca buku pertama. Silahkan untuk disimak dalam buku Minamoto no Yoritomo II yang diterbitkan dan ditermahkan oleh Penerbit Kansha (Mahda) Books. Karakter Yoritomo yang tegas dan kuat dalam membawa pasukannya ke pintu gerbang pencerahan patut dijadikan tauladan. Begitu juga dengan prinsip-prinsip ksatria yang terdapat di dalamnya. Yakni ksatria harus menjadi teladan bagi rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Selain tidak melupakan introspeksi diri dan keadaban. Itulah yang diajarkan Yoritomo kepada semua pasukannya. Eiji mengajak para pembaca untuk menyelami kembali sejarah kerajaan Jepang melalui karya sastra. Buah tangan yang satu ini menghadirkan tokoh yang memiliki jiwa pemimpin pada diri Yoritomo, dan jiwa ksatria pada Yoshitsune. Yoshitsune memang dikenal sebagai ksatria yang memiliki strategi dan kecerdasan luar biasa dalam berperang. Keduanya mengjarkan pembaca untuk tidak mencampuradukkan antara masalah pribadi atau keluarga dengan masalah kepentingan umum. Setiap karya Eiji Yoshikawa memang menghadirkan kisah-kisah yang sarat dengan nilai historis. Segala kekurangan yang ada dalamnya, tetap membuat buku ini layak untuk dibaca, terutama bagi yang concerndalam novel sejarah. Penyajiannya sangat berwarna, mulai dari aspek ketegangan, kesedihan, sampai lelucon yang akan menyelingi pembaca dalam menelusuri setiap lembarnya. Karena dari buku ini kita belajar tentang keberanian, kedisiplinan, kesetiaan, etika berperang, menjadi pemimpin yang inspiratif dan bangkit dari keterpurukan. Selain, tentunya saja belajar tentang sejarah Jepang
»»  READMORE...

Rakyat Kecil, Islam dan Politik

0 komentar
Penerbit:  Gading, Yogyakarta, 2013
     Tebal: xvii + 482 Halaman
 
Kemiskinan di wilayah urban telah lama menjadi masalah, sebab dari sinilah persoalan-persoalan yang lebih luas meluber. Kriminalitas, pengangguran, hingga konflik sosial adalah sebagian dari daftar panjang luberan masalah tersebut. Martin van Bruinssen, peneliti asal Belanda, secara cermat mencatat masalah tersebut dalam sebuah penelitian. Penelitian tersebut dilakukan di sebuah kawasan kumuh di kota Bandung pada pertengahan tahun 1980-1990-an.
Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa kemiskinan di wilayah  tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut antara lain adalah kedatangan ataupun perpindahan penduduk ke wilayah tersebut.Perpindahan tersebut diikuti dengan sempitnya lapangan pekerjaan. Alhasil, penduduk terpaksa menjalankan pekerjaan informal seperti membuka warung, berdagang makanan kecil, atau bekerja sebagai buruh rumahan dengan mengupas bawang.
Sayangnya usaha semacam itu selalu diikuti oleh penduduk lainnya. Persaingan tidak dapat dihindari. Persaingan yang tinggi membuat  usaha tersebut tidak dapat bertahan lama. Mereka pun kembali bangkrut dan harus bersusah payah membangun usaha lain. Padahal untuk itu mereka harus menyiapkan modal yang banyak.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya kreativitas dan kurangnya kemampuan inovasi membuat kompetisi sulit diatasi dengan baik.  Ada penduduk yang mencoba bertahan, ada juga yang menyerah begitu saja. Mereka yang bertahan harus menjalaninya dengan berat. Namun kemudian Bruinessen mempertanyakan posisi lembaga keagamaan.  Dalam hal ini ia menyandingkan posisi lembaga keagamaan dengan fenomena kemiskinan itu sendiri. Baginya, segala dinamikan lembaga keagamaan yang terjadi di Indonesia belum dapat menyentuh persoalan mendasar masyarakat, yakni kemiskinan.
Hal yang terjadi, banyak lembaga keagamaan yang justru terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan politik. Buku ini memperlihatkan bagaimana NU (Nahdlatul  Ulama) yang semula merupakan lembaga keagamaan, mengubah dirinya menjadi lembaga politik yang kemudian terbukti banyak memberikan ruang yang menguntungkan bagi anggotanya. Namun kemudian ada dorongan internal agar NU untuk menarik diri dari kegiatan politik. Dorongan ini dipicu oleh kenyataan bahwa organisasi tersebut semakin kurang memberikan perhatian kepada dakwah dan pembinaan umat. Hasilnya, pada tahun 1983, NU kembali  ke Khittah 1926.
Hal menarik lain yang disinggung dalam buku Bruinessen ini adalah dinamika lembaga maupun kelompok-kelompok Islam yang ada dalam masyarakat.  Tampaknya memang tak mudah melepaskan Islam dari hiruk pikuk masalah sosial dan politik. Islam selalu menjadi elemen penting di dalamnya. Pada analisa Bruinessen, itu alasannya mengapa rezim berkuasa selalu melibatkan lembaga-lembaga Isalam untuk berbaga proyek ataupun programnya. Bagi pemerintah Islam bukan sekadar agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, melainkan juga potensi untuk melakukan sebuah gerakan.
Sumber:  http://ulas-buku.blogspot.com/
»»  READMORE...

Advertisement